Sabar dan Ikhlas, Teladan dan Makna Perjuangan Mbah Sadiman Menghijaukan Bumi


Mbah Sadiman mulai menanam pohon beringin di Gunung Gendol, Wonogiri sejak sekitar tahun 1996. Berawal dari keprihatinan tentang krisis lingkungan di desanya. Kekurangan air di musim kemarau, bencana banjir dan longsor di musim penghujan menjadi hal yang setiap tahun harus dihadapi. Kehidupan masyarakat yang sulit menjadikan Mbah Sadiman tergerak dengan kesadarannya. Niatnya tulus, tak berpamrih, menanam tanpa acara seremonial atau publikasi apapun, beliau bergerak dalam diam. Bahkan, selama bertahun-tahun istrinya sendiri tidak tahu apa yang sedang ia kerjakan di hutan. Ketenaran yang ia capai saat ini bukan tujuan, melainkan bonus dari kerja-kerja ikhlasnya.

--------------------

Siapa yang tidak kenal Mbah Sadiman? Para pecinta alam dan pegiat lingkungan khususnya konservasi dan revitalisasi sumber mata air tentu tidak asing dengan namanya. Mbah Sadiman adalah sosok di balik kembalinya ekosistem lereng Gunung Gendol, ia viral beberapa tahun terakhir karena berhasil mengubah lahan gundul nan tandus menjadi pusat sumber mata air berlimpah yang bermanfaat untuk orang banyak.

Meskipun awalnya dianggap gila oleh masyarakat setempat, Mbah Sadiman tidak mengenal kata menyerah dan terus menanam pohon terutama jenis beringin dan elo. Sampai akhirnya pohon-pohon itu berdiri kokoh lalu menyemburkan mata air yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Mata air yang kembali muncul disalurkan langsung ke rumah-rumah warga. Juga untuk mengairi sawah dan ladang, sehingga kenangan buruk Mbah Sadiman di masa kecil tentang petaka kekurangan pangan bisa teratasi. Tak ada yang instant memang, Mbah Sadiman mengerjakan hal ini selama puluhan tahun. Menanam, merawat, menjaga pohon-pohon yang ia tanam dengan sepenuh hati, ikhlas dan gembira

Setiap hari ia ke ladang miliknya di kawasan Perhutani lereng Gunung Gendol, mencari pakan kambing-kambingnya, sembari merawat tanaman beringin. Tak hanya itu, dengan cangkulnya, Mbah Sadiman juga membuat jalan setapak berundak yang menghubungkan antar lokasi penanaman beringin, untuk memudahkan akses kontrol dan perawatannya. Banyak tanamannya hilang atau mati dibabat petani penggarap lain karena dianggap mengganggu tanaman pakan ternak. Mbah Sadiman terpaksa sampai menjual kambingnya untuk ‘nyusuki‘, memberi ganti rugi petani penggarap lahan, agar tanaman beringinnya tidak dirusak. Sungguh, apa yang dilakukan Mbah Sadiman adalah laku sejati dari sebuah perjuangan panjang dengan segala pengorbanan waktu, pikiran, tenaga sampai materi, tanpa pernah ia berharap akan imbalan.

Poster acara anniversary KOMPAG ke-5

Hari Sabtu 26 November 2022 kemarin, saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan tokoh hebat ini di sebuah acara yang diadakan oleh KOMPAG (Komunitas Pecinta Alam Wonogiri). Acara diselenggarakan di Hutan Pinus Amora, Gumiwang Lor, Wonogiri. Dari awal, aku sangat antusias agar bisa hadir di event ini. Bukan karena alasan thethek bengek lain, melainkan karena keinginan untuk bertemu dengan Mbah Sadiman. Selama ini saya tahu tentang perjuangannya hanya sebatas dari media sosial. Ini adalah kesempatan langka, bertemu langsung dengan sang motivator sekaligus inspirator bagi gerakan-gerakan merawat dan memuliakan alam.

Saya dan teman-teman Resan Gunungkidul tiba di lokasi selepas Isya’. Malam itu di hutan pinus suasana tidak terlalu ramai. Sebagian besar peserta berada di dalam tenda masing-masing, sehingga hanya terlihat beberapa orang di luar. Hujan baru saja reda setelah mengguyur sedari siang sampai sore. Beberapa waktu kemudian, MC dipanggung mengumumkan acara sarasehan akan segera dimulai, dan memanggil seluruh peserta untuk berkumpul di lokasi. Kami kemudian berjalan turun dari warung yang berada di belakang panggung. Karena jalanan licin, kami berjalan satu-persatu berbaris memanjang ke belakang.

Pak Ari dari Resan Gunungkidul yang menjadi salah satu narasumber berjalan paling depan. Saya berjalan di tengah, sehingga pandangan mata tertutup teman-teman di depan. Saat sampai lokasi saya melihat sosok kakek berjenggot putih panjang, mengenakan topi cowboy, PDH hijau army dan celana hitam panjang. Perawakannya terbilang kecil, ia selalu tersenyum lebar saat bersalaman dengan orang-orang, memperlihatkan susunan giginya yang tak lagi lengkap. Kakek itulah yang disapa Mbah Sadiman. Tepat dibelakangnya, terlihat seorang kakek yang kelihatan lebih muda. Outfit yang dikenakan sama persis dengan Mbah Sadiman, hanya saja beliau mengenakan topi berwarna merah. Kemudian aku tahu bahwa kakek yang satu ini namanya Mbah Kemis. Ternyata ia adalah rekan Mbah Sadiman untuk menanam dan merawat pohon di Gunung Gendol.

Mereka kemudian naik ke atas panggung, dan sarasehan segera dimulai. Kami kemudian duduk pada kursi-kursi panjang yang terbuat dari bambu yang disusun di bawah pohon-pohon pinus. Mbah Sadiman kemudian banyak bercerita terkait perjuangannya dari awal untuk menanami lereng Gunung Gendol. Kendatipun bahasa yang disampaikan Mbah Sadiman sangat sederhana khas orang desa, saya sangat menikmati semua kata demi kata yang beliau tuturkan pada sarasehan itu.

Saya dan kawan-kawan Resan Gunungkidul bersama Mbah Sadiman

Mbah Sadiman lahir pada tanggal 14 Februari tahun 1954, saat ini beliau tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Beliau merasakan keresahan dan kegundahan akan kesulitan mendapatkan air bersih di desanya sejak ia masih sekolah SD. Semua berawal saat hutan di lereng Gunung Gendol yang terletak di sebelah atas desanya terbakar hingga dua kali. Sekitar tahun 1960an, pembalakan atau penjarahan kayu di hutan juga marak terjadi. Lereng Gunung Gendol menjadi tandus dan kering.

Beberapa mata air yang dulu ada semakin berkurang dan menyusut bahkan mengering sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan air masyarakat. Hal ini berimbas pada sektor pertanian, karena jumlah air tidak mencukupi untuk pengairan lahan, maka hasil panen pun berkurang dan banyak yang gagal, sehingga terjadi ‘larang pangan’ (krisis pangan).

Cerita Mbah Sadiman, keadaan sulit ini mengakibatkan banyak orang meninggal karena kelaparan. Terutama kepala keluarga, karena di tengah krisisnya pangan, mereka tetap harus bekerja keras mencari nafkah demi menghidupi keluarga, sehingga banyak yang jatuh sakit tak terobati. Mbah Sadiman merasa sedih mendalam ketika di mana-mana terdengar suara tangis karena kelaparan. Menurutnya, kondisi zaman itu lebih parah daripada kondisi Pandemi Covid-19 lalu.

Melansir tulisan hutansadiman.blogspot.com, tentang profil Mbah Sadiman, Sadiman muda lulus Sekolah Dasar pada tahun 1965, keadaan ekonomi yang sulit, memaksa orang tuanya yang petani, tak mampu langsung menyekolahkan Sadiman ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sadiman harus menunggu dua tahun baru bisa sekolah di SMP Marhaen Bulukerto, Wonogiri. Ia berhasil menamatkan SMP pada tahun 1970. Lagi-lagi, karena ekonomi orang tuanya yang sulit, Sadiman yang meneruskan sekolah di STM Jatisrono Jurusan Tekhnik Bangunan hanya bisa bertahan selama satu tahun. Keadaan ekonomi orang tuanya memaksa Sadiman harus putus sekolah. Kenyataan ini memaksa ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Sadiman muda kemudian memutuskan untuk mengadu nasib di perantauan.

Surabaya menjadi kota tujuan pertama, berbagai pekerjaan seadanya terpaksa ia kerjakan demi menyambung hidup di perantauan. Sadiman muda menjadi kernet angkutan umum hingga tahun 1973. Dari Surabaya, kemudian ia diajak temannya untuk bekerja di Kalimantan Tengah. Apa yang ia temui di sana, kondisinya tak kalah memprihatinkan, karena air bersih juga susah diakses. Seperti yang kita ketahui bahwa lahan di Kalimantan didominasi oleh jenis tanah gambut, sehingga rata-rata airnya berwarna cokelat dan keruh. Untuk mendapat air layak konsumsi, maka harus menggali sumur yang sangat dalam.

"Teng Kalimantan, kula nggih kelingan ndesa terus, padha padha larang banyu (di Kalimantan, saya selalu teringat keadaan desa, sama-sama sulit air)”, kenang Mbah Sadiman bercerita.

Perjalanan hidup kemudian membawa Sadiman Muda merantau ke beberapa daerah berbeda. Selain Surabaya dan Kalimantan, kota Lampung dan Gresik pernah menjadi tujuan Sadiman muda menggapai mimpi. Namun, setelah berkeluarga dan mempunyai anak, keadaan nasib di perantauan juga tidak kunjung berubah. Waktu itu, akhirnya Sadiman memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya.

Sadiman pulang ke kampung halamannya pada tahun 1991, waktu itu usianya sudah menginjak kepala empat. Saat ia kembali, keadaan di desanya masih belum banyak berubah. Air masih menjadi persoalan utama. Untuk menghidupi keluarganya, Sadiman kemudian bertani dan bekerja sebagai buruh lepas di Perhutani sebagai penyadap getah pohon pinus.

“Dados penyadap getah pinus, wekdal niku upahe namung alit, sak kilo getah diregani 125 rupiah (jadi penyadap getah pinus, waktu itu upahnya cuma kecil, satu kilogram getah dihargai 125 rupiah),” kenangnya.

Sembari menyadap pinus, Sadiman juga bertani di lahan Perhutani. Menanam cengkeh, cabai, pakan ternak dan lain-lain kemudian ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sejak banyak beraktivitas di hutan, Mbah Sadiman mulai banyak mengamati, bahwa kendati hutan tak sekering dulu karena sudah ada pohon Pinus milik Perhutani, tetapi air tetap sulit.

Ia mulai berfikir bahwa hutan ini membutuhkan tanaman lain yang bisa menyimpan air tanah. Pohon pinus ternyata kurang mampu sebagai penyedia air. Daun-daunnya yang berguguran juga tidak gampang membusuk menjadi pupuk alami. Kondisi tanah disekitarnya juga sulit untuk subur atau gembur serta gersang karena kurang air. Ia lalu membandingkan dengan banyak tempat yang lain, dimana ketika ada sumber air, maka disitu pasti ada pohon besar yang kebanyakan adalah pohon beringin. Salah satunya adalah yang berada di dekat kantor Kecamatan Jatisrono, Wonogiri. Di tempat itu, Mbah Sadiman mengamati ada beberapa pohon beringin dan iprik yang besar, dan di bawahnya ada sumber air yang mengalir sepanjang tahun.

Berdasarkan pengamatan tentang pohon-pohon yang bisa menghasilkan sumber mata air, di beberapa tempat yang lain, Mbah Sadiman mulai berpikir untuk menanam pohon beringin di lahan-lahan tandus Gunung Gendol dan Bukit Ampyangan.

Sekitar tahun 1996, Mbah Sadiman mulai membangun mimpi-mimpi baru tentang Gunung Gendol dan tanah kelahirannya. Pemikiran bahwa “Timbang aku nyiksa kayu, mending aku nyuburke kayu” (daripada aku menyiksa pohon, mendhing aku menyuburkan pohon) mulai memenuhi angan angannya).

"Carane yaitu nandur wit ringin (caranya yaitu menanam pohon beringin)", tekad Mbah Sadiman.

Meskipun keberadaan hutan pinus tidak mampu menyediakan sumber mata air, Mbah Sadiman tidak menjelekkan hal itu. Karena bagaimanapun juga hutan pinus milik Perhutani itu membawa nilai ekonomi bagi pihak Perhutani dan masyarakat. Mbah Sadiman kemudian memulai aksinya menanam pohon beringin di sela-sela hutan pinus. Satu blok lahan ditanami sekitar 5-6 pohon berjenis sama dengan jarak 2-3 meter. Ia melakukan itu sembari bekerja di ladang, mencari rumput bagi kambing-kambingnya atau menanam cabai. Wilayah Perhutani itu memang menjadi lahan garapan masyarakat disekitarnya. Banyak warga lain juga menggarap lahan untuk pertanian, sehingga apa yang dilakukan Mbah Sadiman dengan menanami pohon beringin sering dianggap mengganggu tanaman yang lain.

Mbah Sadiman kemudian bercerita mengenai suka duka perjalanannya saat menanam pohon. Seperti yang kita tahu, bahwa Mbah Sadiman mendapat julukan sebagai “orang gila” karena menanam pohon yang dinilai tidak ada manfaatnya secara ekonomi. Bahkan, Mbah Sadiman sering menukar bibit cengkeh miliknya dengan bibit pohon beringin. Ia juga selalu menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli bibit dan pupuk bagi pohon beringin yang telah ia tanam. Bahkan, beberapa kali ia harus menjual kambingnya untuk ‘nyusuki‘ atau memberi ganti rugi penggarap lahan agar beringin yang ia tanam tidak dirusak.

Wonten 11 lokasi ingkang kula susuki (ada 11 lokasi yang saya ganti rugi)”, ujarnya.

Mbah Sadiman mangaku, bahwa istrinya saja sampai tak tahu secara pasti apa yang ia lakukan setiap hari di hutan. Selama puluhan tahun ia bekerja sebagai petani penggarap lahan Perhutani. Beliau adalah kepala keluarga yang harus menanggung biaya sekolah anak-anaknya sembari merawat pohon-pohon beringin yang telah ia tanam.

“Kuncinya adalah sabar dan ikhlas, ngati-ati le tumindak, terus berusaha, kalih mboten nglarani perasaan tiyang sanes. Gusti sampun maringi rejeki sedayanipun, kedah katah bersyukur (Kuncinya adalah sabar dan ikhlas, berhati-hati dalam bertindak , terus berusaha dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Tuhan sudah menjamin rejeki semua makhluknya, harus banyak bersyukur)”, tutur Mbah Sadiman.

Selepas acara sarasehan, kami berkesempatan mengobrol banyak dengan Mbah Sadiman. Banyak sekali ilmu-ilmu dan prinsip hidup yang bisa saya ambil dari obrolan kami. Bahasa yang sederhana dan apa adanya dari Mbah Sadiman sungguh mengandung banyak arti dan makna yang luhur. Lagi-lagi Mbah Sadiman menegaskan perihal sabar dan ikhlas adalah kuncinya.

Saat ini, hasil kerjanya telah dinikmati ribuan warga secara gratis. Air mengalir ke rumah-rumah warga dan lahan-lahan pertanian. Meski begitu, masih banyak orang yang tetap mau menang sendiri. Pemilik lahan yang luas lalu berusaha mengalirkan air dengan pipa-pipa besar ke lahan mereka, sehingga petani yang lahannya sedikit masih sering tidak kebagian air.

Banyak pula warga yang ikut merasakan manfaat pohon itu tetap tidak kunjung sadar untuk ikut merawat dan menjaga alam Gunung Gendol. Mbah Sadiman bercerita bahwa masih banyak warga yang tidak percaya dan tidak ‘ngrumangsani‘. Bukannya berterimakasih malah berlomba-lomba mendapatkan air hanya dengan bermodal pipa untuk menyalurkan air dari sumber ke rumah dan lahan-lahannya secara berlebihan. Mbah Sadiman menggambarkan beberapa orang yang serakah dengan mengisyaratkan besarnya pipa antara milik orang kaya dan miskin dengan perbandingan besar jari dan lengan.

“Sing gedhe dhuwur menang akeh, sing cilik dadi kalah, mula kudu sabar lan ikhlas. Ojo nganti nglarani wong liya lan terus waspada nalika tumindak (yang modalnya besar menang banyak, yang miskin hanya kebagian sedikit, makanya harus tetap sabar dan ikhlas. Jangan sampai menyakiti orang lain, terus berhati-hati dalam bertindak)” ulang Mbah Sadiman.

Tak ada yang sia-sia memang, apa yang dilakukan Mbah Sadiman dan hasil nyata saat ini mengundang perhatian banyak pihak. Berbagai penghargaan telah ia terima, Kalpataru, Kick Andy Award dan sederet penghargaan baik nasional maupun internasional telah ia terima. Sosok Mbah Sadiman juga menjadi inspirasi banyak pihak dari berbagai daerah. Gerakan menanam pohon yang ia lakukan menginspirasi, menular ke komunitas-komunitas lain sampai ke luar daerah.

Wajah Mbah Sadiman terlihat bahagia ketika menceritakan bahwa tindakannya bisa menjadi teladan dan contoh bagi banyak orang untuk kembali merawat dan menjaga lingkungan Beliau mengakhiri ceritanya dengan menyebut semua sumber air yang dijaga oleh pohon sebagai “banyu bening kincling-kincling” (air bening berkilauan)” sebagai sumber kehidupan yang harus terus dijaga dan dirawat.

Betapa bahagianya aku bisa bertemu dengan Mbah Sadiman dan mendengar ceritanya secara langsung. Pitutur luhur yang aku dapatkan ialah harus tetap sabar dan ikhlas dalam bertindak, serta rela berkorban demi kehidupan khalayak umum yang lebih baik. Meskipun terkadang penilaian orang tidak seperti yang kita harapkan, yang terpenting adalah hasil perbuatan mulia sesuai dengan harapan.

Tindakan baik tidak mengharapkan penilaian orang lain, namun akan melahirkan kesadaran banyak orang akan lebih membahagiakan. Tidak ada perjuangan yang berjalan mulus, pasti banyak rintangan menghadang, tapi dengan kesungguhan dan keikhlasan semua akan mendapat hasil yang baik. Ketenaran tak membuat Mbah Sadiman berubah, karena itu bukan tujuan awal, beliau tetap seorang kakek sederhana yang akan terus menjaga alam untuk kehidupan generasi. Sehat-sehat selalu Mbah, terima kasih atas teladan dan semua pitutur luhurnya.

Kegiatan Penanaman


(Tulisan ini pernah dimuat dalam rebowagen.com pada 9 Desember 2022)


Lebih baru Lebih lama