“Aja Lali Mulanira!”


“aja lali mulanira!”, begitu petuah orang-orang tua yang sering dilontarkan kepada anak-cucunya. Saya sebagai anak muda pun belum mengerti sepenuhnya apa maksud dari petuah itu. Apa makna mulanira? mungkin kata ini terdengar asing di kalangan anak-anak muda zaman sekarang.

Mulanira, berasal dari kata dasar “mula” yang bermakna “awal” dan “nira”/”ira”/”sira” yang bermakna “kita” - merujuk pada diri kita sebagai manusia. Maka, mulanira dapat diartikan sebagai asal-usul diri kita. Mulanira juga diartikan sebagai asal-usul kehidupan. 

Dari manakah kita berasal? sebagai umat beragama kita meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan segala isinya, termasuk manusia. Dalam budaya Jawa terdapat falsafah “sangkan paraning dumadi” yang bermakna “dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali”.

Begitulah, ketika kita membahas mulanira atau asal-usul kehidupan pasti akan sampai pada akarnya, yaitu spiritualitas atau ketuhanan. Di sini, kita tidak akan membicarakan asal-usul manusia sedetail itu, melainkan lebih mengarah pada asal-usul kehidupan masyarakat komunal sehingga membentuk peradaban di Bumi Handayani.

Asal-usul masyarakat komunal, selalu tidak jauh dari keberadaan air. Air menjadi komponen penting untuk keberlangsungan hidup di muka bumi. Dalam khasanah ilmu Jawa, air dikenal sebagai salah satu unsur dasar kehidupan yang disebut avatar, yaitu tanah, api, air, dan angin.

“Kita hidup dari alam. Makanan kita semuanya dari alam, baik tumbuhan maupun hewan. Semua itu dapat tumbuh juga karena ada air, kalau tidak mereka tidak akan hidup. Berarti air adalah kunci kehidupan”, kata seorang kawan.

Pada lingkup global, kita mengetahui peradaban-peradaban besar dunia juga erat dengan keberadaan sumber air. Seperti Mesopotamia yang tumbuh di antara Sungai Eufrat dan Trigis, Mesir Kuno tak jauh dari Sungai Nil, India Kuno dengan Sungai Indus, serta dinamika bangsa Cina yang berawal dari aliran Sungai Yangtze dan Sungai Kuning.

Konteks yang sama dengan lingkup berbeda, peradaban masyarakat Gunungkidul juga berawal dari sumber-sumber air. Hal ini dibuktikan dengan cerita asal-usul sejarah dusun/desa selalu berhubungan dengan sumber air maupun pohon resan sebagai penjaganya. Seorang kawan juga menegaskan bahwa sumber air menjadi acuan utama untuk memulai kehidupan komunal.

“Sebagian besar nama dusun atau desa di Gunungkidul menggunakan nama-nama pohon resan, karena identik dengan sumber air yang menjadi penopang awal kehidupan masyarakat suatu tempat. Maka dari itu, hampir semua sejarah asal-usul dusun atau desa erat kaitannya dengan keberadaan sumber air dan pohon resan yang menjaganya. Jadi, bisa dikatakan bahwa pohon resan juga berperan sebagai identitas tempat-tempat di Gunungkidul”, begitu kiranya rangkaian kalimat yang sering saya dengar dalam obrolan bersama kawan komunitas maupun masyarakat di Gunungkidul.

Hal ini menjadi refleksi kita bersama sebagai kaum muda. Apa tujuan para orang tua memberi petuah “aja lali mulanira”? Apakah mereka juga mendapat petuah itu dari nenek moyang terdahulu? Apakah setiap wilayah Gunungkidul memiliki cerita mulanira yang sama? Dan apakah cerita itu masih hidup alias lestari? Di sinilah peran kita untuk mencari tahu dan mengarsipkan sebagai langkah awal melestarikan warisan nenek moyang. Jika bukan kita, lantas siapa?

Lebih baru Lebih lama