Oleh: Ali Hidayat F
Resan.id-- Setelah mengikuti kegiatan Komunitas Resan Gunungkidul pada Minggu, 3 Februari 2024 lalu, ada banyak hal yang coba saya refleksikan. Saya mencoba mengendapkan berbagai perenungan dan pengetahuan baru dengan nalar 'anak kota' (baca: Sleman), tapi mempunyai aliran darah yang kental dengan bumi yang (konon) kering bernama Gunungkidul. Sebuah kabupaten di sebelah selatan DIY yang menyandang gelar 'adoh ratu cerak watu' dan memiliki luas wilayah hampir separuh Yogyakarta
Saya memang lahir dan besar di Sleman, namun orang tua berasal dari Gunungkidul. Hal inilah yang membuat ikatan batin yang kuat, antara saya dan tanah asal usul leluhur. Sehingga pada suatu masa yang tak terencana saya terdampar dan ikut kegiatan bersama sebuah komunitas konservasi bernama Resan Gunungkidul
Pertama kali ikut, saya mencoba meraba, arah dan tujuan kegiatan komunitas yang katanya sukarela ini. Dari agenda Minggu pagi sampai siang, ada beberapa hal yang dengan keterbatasan sebagai 'orang baru' dapat saya catat.
Diantaranya, Resan Gunungkidul
banyak berkontribusi mempertemukan banyak pihak dalam mencari solusi terhadap masalah konservasi dan pembangunan. Mereka bergerak melalui isu lingkungan dengan aksi penanaman pohon di berbagai wilayah Gunungkidul.
Pada giat yang saya ikuti, agenda Resan bersama masyarakat ternyata tak hanya menanam pohon, melainkan berbagai diskusi dan refleksi mandiri lahir untuk memperkuat iman dan ketakwaan kita sebagai manusia agar menjaga lingkungan sosial-ekologis di daerah masing-masing.
Kegiatan ini melibatkan banyak pihak. Hadir juga beberapa struktural pemerintah desa, termasuk Pak Lurah, warga, Karang Taruna, BKSDA Resort Gunungkidul serta mahasiswa-mahasiswa dari beberapa universitas yang sedang melakukan tugas kuliah dan tugas akhir.
Secara bersama-sama, kami melaksanakan aksi penanaman pohon konservasi di ‘pereng’ (bantaran) Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Kamal di wilayah Kalurahan Wunung. Sebagai pembeda dari kegiatan sosial-ekologi pada umumnya, Komunitas Resan bersama pihak pemerintah kalurahan dan yang lainnya tidak menonjolkan praktik-praktik institusional dan administratif yang biasa dilaksanakan institusi legal-formal
Tak ada uoacara seremoni, simbolis, sambutan dan berbagai hal yang bersifat resmi. Kegiatan ini cenderung menitikberatkan pada esensi penanaman pohon konservasi. Keterlibatan masyarakat dan dialog 'saur manuk' yang bebas dan gayeng dalam upaya membangun kesadaran bersama sebagai langkah menjaga lingkungan, sumber mata air dan berbagai potensi alam di kawasan karst Gunungkidul.
Teman-teman Resan menggunakan pendekatan populis kepada masyarakat desa. Dengan minim dukungan dana pula, mereka menggunakan pendekatan komunikasi dan edukasi filosofi Jawa berupa budaya tutur dari warisan orang-orang terdahulu. Logistik pun tidak banyak, mereka menanam pohon dan berdiskusi hanya bermodalkan kesamaan identitas dan kepentingan sosial-ekologis. Bahkan, konsumsi tidak wajib diadakan dan terkadang ada kesukarelaan dari warga, seperti minuman teh manis panas, potongan singkong dan kacang tanah rebus.
Sebagian mahasiswa yang ikut serta menjadi gambaran modernitas, mereka melakukan penanaman pohon, berinteraksi dan berdiskusi, serta mendokumentasikan kegiatan melalui video dan foto untuk tugas sekolah atau studinya masing-masing. Lalu, bagaimana dengan warga desa? Mereka menjadi aktor kunci dalam penanaman pohon ini. Warga yang menentukan area mana yang dapat ditanami dan dapat diawasi agar tidak terancam gagal tumbuh akibat berbagai pengaruh– misalnya kegiatan ‘ngarit’ atau pencari pakan ternak, invasi Monyet Ekor Panjang (MEP), dan lain sebagainya.
*Praktek penanaman Pohon Wunung, toponim Kalurahan Wunung*
Penanaman pohon konservasi ini bukan hanya sekedar penghijauan, pemanfaatan, pelestarian atau eksistensi melawan desas-desus kawasan Gunungkidul sebagai wilayah kekeringan (baca: Dry Land). Melainkan ada esensi tegas dan kuat, kenapa para pegiat konservasi dan pemerintah Desa Wunung melakukan penanaman pohon konservasi di tengah isu investasi dan pembangunan? Seperti kegiatan konservasi dan pembangunan Taman Nasional di Papua, Aceh dan Sumatera Utara, Banten, NTT, dan lainnya di Indonesia, Kementerian KLHK bersama berbagai pihak bermaksud melestarikan, menjaga dan mendaftarkannya ke dalam situs warisan budaya UNESCO.
Sekilas terdengar aneh, Lurah Wunung, Sudarto menyampaikan bahwa nama desa yang dipimpinnya itu merupakan sebuah nama jenis pohon sebagai warisan nenek moyang. Disambut pula, tergelitik dan ternganga, penjelasan teman-teman Resan tentang toponim nama pedesaan di kawasan Gunungkidul serta membawa dan menunjukan bibit Pohon Wunung.
Pohon Wunung adalah sejenis pohon besar anggota suku Malvaceae, anak suku Sterculioideae yang tersebar di Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara bagian barat (baca: resan.id). Dengan kata lain, terdapat alasan sejarah, filosofi, dan pengetahuan berharga dalam penamaan desa dan penanaman pohon yang berhubungan di dalam suatu kawasan.
Sementara itu, terlintas dan teringat terkait penanaman pohon dan penamaan desa, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kawasan pendidikan dan kebudayaan yang memiliki Undang-undang keistimewaan DIY (UUK 13/2012) dengan aturan tentang pembangunan kabupaten/kota dan kalurahan/kelurahan. Dalam hal ini, penanda kalurahan dan kelurahan adalah sebuah bangunan papan infrastruktur pengelolaan anggaran Dana Keistimewaan (Danais). Disamping itu Kepala Bagian Bina Pemerintahan Kalurahan/Kelurahan dan Kapanewon/Kemantren, KPH. H. Yudanegara, Ph.D., mengawal pelaksanaan kegiatan pembangunan papan nama jeistimewaan melalui Biro Tata Pemerintahan Setda DIY dengan skema usulan BKK Danais ke Kalurahan. Bahkan, design papan nama keistimewaan digadang-gadang sarat filosofi jawa (baca: BiroTapem.jogjaprov.go.id).
Dengan adanya UU Keistimewaan tersebut, kegiatan Komunitas Resan Gunungkidul dan pemerintah kelurahan serta berbagai pihak pegiat konservasi dapat direfleksikan mampu memberikan nuansa pengembangan dan inovasi tentang hubungan manusia-alam dan pembangunan. Dimana, harapan praktik baik penanaman Pohon Wunung sebagai toponim (asal-usul) berlandaskan budaya dan keyakinan melalui hasil studi toponim dapat diakui dan diaplikasikan ke berbagai daerah. Bahkan sebagai sisi baru penanda pembangunan ‘keistimewaan’ yang alternatif dalam konteks pariwisata, ecotourism, pendidikan lokal, dan lain sebagainya di kawasan pedesaan dan karst Gunungkidul. Dengan kata lain, Pemerintah DIY dan daerah kabupaten/kota, kalurahan dan masyarakat mampu berkontribusi bersamaan dengan pelaksanaan pembangunan dan konservasi secara berkelanjutan dan terintegrasi.
*Ali Hidayat F adalah mahasiswa Sosiologi UGM yang sedang melakukan studi tentang gerakan konservasi lingkungan berbasis kebaruan*