*Relief pohon Kalpataru banyak terpahat pada dinding candi-candi Hindu dan Budha di Jawa. Masyarakat Jawa kuno menganggap pohon ini sebagai lambang pohon hayat atau sumber kehidupan. Ternyata, pohon Kalpataru bukan sebatas mitos, tapi memang benar-benar ada. Namun, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang spesifikasi dari jenis pohon ini*
Resan.id-- Pohon adalah salah satu komponen hayati yang utama. Fungsi dan perannya dalam menjaga keseimbangan siklus kehidupan sangat vital dan tak terbantah. Pohon menghasilkan makanan, oksigen dan menjaga ketersedian air bagi makhluk hidup lainnya. Sangat pentingnya fungsi dan peran pohon, sampai ada yang menganggap bahwa pohon adalah saudara tua dari manusia.
Kepercayaan pohon sebagai sumber kehidupan telah ada, mengakar dan disakralkan sejak peradaban kuno di berbagai belahan dunia. Relief pada dinding-dinding candi Borobudur, Mendut, Pawon, candi Gangsir dan candi lainnya di tanah Jawa banyak terukir cerita tentang pohon Kalpataru. Meski tak menunjuk secara spesifik jenis pohonnya, namun pohon ini dianggap sebagai pohon hayat atau pohon kehidupan.
Melansir WikipediA, pohon Kalpataru ini disebut sebagai Kalpawreksa (déwanagari, kalpavrksa, kalpadruma, kalpapada). Dalam mitologi Hindu, diyakini sebagai pohon yang mengabulkan permintaan. Tulisan mengenai pohon ini dapat ditemukan dalam naskah Sanskerta. Kalpataru memang berasal dari bahasa Sanskerta, dan masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui bahasa Jawa Kuno. Akar kata 'kalpa' yang berarti 'ingin' (harap) dan 'taru' (wreksa) yang berarti pohon. Istilah ini menjadi sangat terkenal di Indonesia, sebab pemerintah secara rutin memberikan penghargaan Kalpataru bagi para pengabdi lingkungan.
Namun, dalam dokumen Sanskerta, memang tidak menyebut secara spesifik pohon Kalpataru ini menunjuk pada jenis pohon tertentu. Dalam relief candi Pawon (abad ke-8 Masehi) diterangkan bahwa pohon hayat ini dijaga oleh Kinnara-Kinnari, Apsara dan Dewata. Ini menunjukkan bahwa secara kiasan, pohon ini dilambangkan sebagai sumber kehidupan yang melimpah.
Pada relief Candi Borobudur, visual relief Kalpataru disebut sangat mirip dengan jenis pohon roda (hura crepitans). Sehingga masyarakat di sekitar candi Borobudur, Yogyakarta dan Jawa Tengah menyebut pohon roda ini sebagai pohon Kalpataru. Di India, pohon Kalpataru diidentikkan dengan pohon bodhi (ficus religiossa). Dalam agama Budha, pohon bodhi ini dikaitkan dengan 'pencerahan' yang diterima oleh Pangeran Siddharta atau lebih dikenal sebagai Budha Ghautama.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud sebagai pohon Kalpataru adalah pohon keben (barringtonia asiatica). Pohon ini mempunyai banyak nama daerah, seperti butun, atau putat laut. Pada zaman Orde Baru, dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia tanggal 5 Juni 1986, oleh Presiden Soeharto, pohon keben ditetapkan sebagi lambang perdamaian.
Perbedaan pendapat tentang jenis pohon yang paling pas sebagai pohon Kalpataru telah berlangsung lama. Masing-masing mempunyai argumentasi berdasar keyakinan atau asal daerah masing-masing. Tulisan ini tidak akan menentukan mana yang paling benar, namun sekedar memberi gambaran tentang tiga jenis pohon yakni keben, bodhi dan roda yang sering dianggap sebagai pohon Kalpataru.
Dalam relief candi-candi yang disebut diatas, ciri morfologi pohon Kalpataru secara visual memang multi tafsir. Namun dalam deskripsinya secara jelas digambarkan bahwa pohon ini adalah pohon yang rimbun, bertudung lebar, teduh dan menyimpan banyak unsur kehidupan. Digambarkan bahwa dalam naungannya beragam satwa dan manusia hidup dan berkembang dalam harmoni dan keseimbangan. Secara harfiah dapat diartikan bahwa pohon Kalpataru adalah sumber hayat. Menghasilkan makanan, oksigen dan air sebagai unsur dasar yang dibutuhkan oleh kehidupan makhluk.
Melansir dari banyak sumber, berikut deskripsi dari tiga jenis pohon yang dianggap sebagai Kalpataru.
*Ficus Religiosa (bodhi)
Pohon ini adalah jenis 'ficus' atau ara (beringin). Masuk dalam 'family moraceae' dan 'genus ficus'. Nama ilmiahnya adalah 'fiicus religiossa'. Dalam bahasa Inggris, pohon ini disebut sebagai 'wisdom tree' (pohon yang penuh dengan kebijaksanaan). Berasal dari sub benua India, barat daya Tiongkok dan Indochina. Pohon ini juga disebut sebagai pohon pippala, peepal atau aswathha. Pohon yang dianggap suci oleh agama Budha, Hindu dan Jainisme. Kesuciannya terkait dengan 'pencerahan (enlightenmen) yang didapat Sang Budha Gautama saat bersemedi dibawahnya. Pohon tempat bersemedi Sang Budha hingga saat ini masih hidup dan disebut sebagai 'Mahabodhi'. Terletak di kota Bodhi Gaya, di negara bagian Bihar, India.
Secara morfologi, pohon bodhi dapat dikenali dari daunnya yang berbentuk hati. Di ujung daun melancip dan memanjang seperti air yang menetes. Lebar daun rata-rata mencapai 8-11 cm dan panjang 10-17 cm. Sementara tangkai daunnya mempunyai panjang 6-10 cm. Pohon bodhi berbunga dan berbuah kecil-kecil, berukuran sekitar 1-1,5 cm, berwarna hijau dan ungu jika matang.
Tinggi pohon ini bisa mencapai 30 meter, dengan diameter batang sampai 3 meter. Kulit batang berwarna coklat, bertajuk rimbun dan rapat. Keistimewaan dari pohon bodhi adalah umurnya yang sangat panjang. Rata-rata berkisar 900 sampai 1500 tahun. Di habitat asli yang terawat, pohon bodhi ditemukan ada yang sudah berumur lebih dari 3000 tahun. Ficus Religiosa dapat tumbuh pada tanah dengan ketinggian mulai dari 10 meter sampai 1520 (mdpl). Terkenal bisa beradaptasi dengan berbagai iklim dan cuaca. Pohon bodhi tumbuh dan menyebar di berbagai tempat di dunia, sehingga di beberapa negara dianggap sebagai pohon yang invansif. Pohon Bodhi sering digunakan untuk perindang dan biasa ditanam dekat dengan Vihara Budha.
*Keben ( barringtonia asiatica)*
Jenis pohon ini di Indonesia sering disebut sebagai pohon butun atau putat laut. Banyak tumbuh di kawasan pantai wilayah tropika, Samudera Hindia, kawasan Malesia hingga pantai-pantai wilayah Pasifik barat. Pohon keben dapat tumbuh besar dengan tajuk yang rindang. Batang pohonnya sering digunakan untuk bahan perkakas dan juga pembuatan kano. Pohon keben berbunga, namun uniknya bunganya mekar hanya pada malam hari. Saat pagi, bunga keben sudah rontok. buahnya cukup besar berbentuk piramida. Bijinya dilapisi sabut tebal seperti kelapa. Berwarna hijau waktu masih muda dan berubah coklat ketika buahnya sudah matang. Buah ini terapung di air, sehingga persebarannya sangat luas di banyak pulau dan pantai.
Keben masuk dalam kelas pohon 'magnoliopsida' family 'lecythidaceae' dan ordo 'ericales' dengan nama latin yang keren 'barringtonia asiatica'. Tinggi pohon bisa mencapai 30 meter dan diameter batang hampir satu meter atu lebih. Bentuk daunnya bulat telur yang terbalik, namun kadang memanjang (lanset) pada ujungnya. Ukuran daunnya cukup lebar berwarna hijau mengkilat. Sementara tangkai daun berwana merah.
Keben bisa hidup di dataran dengan ketinggian 0 hingga 350 meter (mdtl). Keben dianggap sebagai tanaman yang penting untuk Keraton Yogyakarta. Pohon ini ditanam di halaman Kamandhungan utara, dan sering disebut sebagai 'alun alun keben'. Pada masa Soeharto berkuasa, keben sempat ditetapkan sebagai pohon perdamaian. Di Indonesia, keben tersebar di berbagai daerah, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Selain kayunya yang dimanfaatkan, biji keben juga mengandung getah/cairan perekat yang kuat. Zaman dulu cairan dari biji keben sering digunakan sebagai perekat payung.
Selain itu, cairan ini dikenal juga bisa membunuh 'ekto-parasit' seperti lintah. Biji keben juga bisa dijadikan obat penyakit kudis dan kejang perut. Sementara ekstrak batang dan bijinya mengandung 'saponin' dan di Papua sering digunakan sebagai racun ikan (menuba). Pohon keben mempunyai tajuk yang rindang, banyak satwa terutama burung bersarang di pohon ini. Akar-akarnya banyak dan dalam, sehingga pohon berdiri kokoh dan mempunyai fungsi konservasi air. Saat ini keben sering dijadikan pilihan untuk jenis tanaman hias atau perindang.
*Roda (hura crepitans)
Tanaman satu ini mungkin agak asing bagi masyarakat awam. Disebut pohon roda karena buahnya mirip dengan roda. Tanaman ini adalah salah satu jenis dari suku 'euphorbiaceae' dengan nama latin 'hura crepitans'. Ada yang mengatakan pohon roda adalah tanaman endemik Afrika.
Secara morfologi, buah roda dapat tumbuh besar, dengan ketinggian mencapai 20 meter atau lebih. Tajuk pohon lebar dan rimbun mencapai 10 meter. Pada batangnya tumbuh banyak sekali duri-duri yang tajam dan rapat. Getah pohon roda berwarna putih susu dan mengandung racun. Konon cerita, getah ini sering dioleskan pada ujung anak panah suku-suku pedalaman Afrika untuk senjata berburu. Daunnya tunggal berbentuk jantung bertangkai panjang dan tepinya bergerigi. Bunganya terpisah antara kelompok bunga jantan dan betina. Sementara buahnya berbentuk bulat seperti roda dan beralur di bagian luarnya.
Di Indonesia, roda sering disebut sebagai pohon kuku macan. Hal ini karena sekat dari buahnya berbentuk seperti kuku macan. Nama lain dari pohon ini cukup banyak dan terkesan menakutkan, yakni pohon neraka, kotak pasir, serta pohon dinamit. Selain duri tajam yang menghiasi dan racun dari getahnya, buah roda dikenal bisa meledak (pohon dinamit). Ledakan buah roda bisa mencapai jangkauan hingga 100 meter, dengan kecepatan 150 mil/jam. Ledakannya bahkan bisa melukai hewan atau manusia yang kebetulan melintas di dekatnya. Dengan cara meledak inilah, pohon roda berkembang biak. Biji-bijinya akan terlempar dan tumbuh jauh dari pohon induknya.
Meski terkesan sangar, banyak manfaat dari pohon roda. Di Jawa, buah pohon roda yang sudah dibuat bubuk halus bisa digunakan untuk obat 'puruh' menahun. Bijinya juga bisa digunakan untuk obat pencahar, dengan cara dibakar setengah matang dikupas dan diminum bersama madu. Getah dan daunnya juga terkenal sebagai obat penyakit kusta Di Kepulauan Hawai, kayu batang buah roda sering digunakan sebagai bahan bangunan dan kotak kemasan. Kulit batang yang dimemarkan dan getahnya juga bisa untuk meracun ikan. Pohon ini dapat tumbuh baik di tanah liat berpasir dengan ketinggian 0 sampai 400 meter (mdpl). Perkembangannya di Indonesia saat ini cukup masif, digunakan sebagai tanaman hias dan pohon perindang.
*Tulisan ini pernah diposting di website rebowagen.com*