Resan.id-- "Sejatine apa-apa ing alam dunya iki sifate owah gingsir. Tan ana kang langgeng, merga kelanggengan kui sifat kagungane Gusti (sesungguhnya apa yang ada di alam dunia ini sifatnya terus berubah. Tidak ada yang abadi, karena keabadian adalah sifat milik Tuhan),"
Tiba tiba saya teringat perkataan Almarhum Bapak yang entah kapan beliau ucapkan. Seperti sebuah suara dari lipatan waktu masa purwa yang menggema kembali. Kalimat itu berbisik pelan di alam bawah sadar, saat saya tertegun sejenak melihat Tuk Umbul Komplet yang airnya mengering
Minggu, 25 Februari 2024 kemarin, Resan Gunungkidul mengagendakan untuk 'ngaruhke', menengok kembali Tuk Umbul Komplet yang berada di area Petak 17 kawasan Wanagama, Kalurahan Banaran, Kapanewon Playen, Gunungkidul
Ada beberapa hal yang mengerakkan niat kami untuk mengunjungi kembali tempat tersebut. Salah satunya adalah momen dua tahun lahirnya kembali Tuk Umbul Komplet
Pada akhir Februari tahun 2022 lalu (saya lupa tanggalnya), Resan Gunungkidul berkolaborasi dengan pihak Wanagama dan pegiat lingkungan yang lain mengadakan giat penanaman pohon di kawasan Petak 17. Sepanjang DAS sungai kecil dan seputaran Embung Wanagama ditanami dengan ratusan bibit pohon konservasi
Saat jeda, kami istirahat di sebuah tempat yang teduh oleh rimbunnya pohon jati belanda. Saat itulah, Onggo, Gayud dan Dewa, pegiat Resan dari Kadang Sumber Banaran bercerita bahwa tempat kami istirahat ini adalah sumber air bernama Tuk Umbul Komplet. Mereka mendapat cerita dari orang tuanya bahwa dulu airnya digunakan oleh warga tiga dusun untuk kebutuhan sehari-hari.
Tak ada yang mengira memang, sebidang tanah di pinggir 'kalen' (sungai kecil) ini dulu adalah sumber air besar. Keadaanya teruruk rata tanah. Diatasnya sudah ditanami rumput kalanjana pakan ternak. Sama sekali tidak ada tanda tanda keberadaan sumber air
Menyebut angka, teman teman Kadang Sumber mengatakan bahwa Tuk Umbul Komplet terkubur sudah lebih dari setengah abad. Spontan, entah siapa yang memulai, kami mulai menggali kembali lokasi titik sumber air. Hari sudah menginjak siang, dengan sisa-sisa tenaga, kami kemudian bahu membahu menggali tanah. Pada kedalaman satu meter, ujung cangkul mulai terantuk batu keras. Dan ternyata, setelah dibersihkan, kami menemukan susunan batu berbentuk sebuah lubang segitiga berukuran dua meter masing- masing sisinya
Melihat keadaan tanah yang kering, hampir tak terbersit di pikiran kami bahwa air Tuk Umbul Komplet akan hidup kembali. Setengah botol air mineral sisa bekal, kemudian disiramkan tepat di titik tengah ruang segitiga setelah kami doakan sebisanya
Tepat 'selapan' (35 hari), bertepatan dengan Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2022, datang kabar yang sungguh tak terduga. Ya..., mata air Tuk Umbul Komplet kembali memancar dengan derasnya. Banyak yang tidak percaya, sampai harus membuktikan sendiri. Dan benar, bidang segitiga yang dulu kering kerontang tampak sudah dipenuhi dengan air. Mata air menyembul dari bawah, sangat sesuai dengan namanya yakni 'tuk umbul'. Mengalir deras dan mengairi kali kecil yang berada di samping sumber
Dalam khazanah ilmu Jawa, banyak yang menganggap mata air yang muncul dari bawah (umbul) mempunyai nilai spritual yang istimewa. Demikian juga Tuk Umbul Komplet, dari puluhan mata air yang dinormalisasi Resan Gunungkidul, Tuk Umbul Komplet adalah salah satu titik spritual penting dalam gerakan Resan Gunungkidul.
Namun, seiring berjalan waktu serta pengaruh kemarau panjang di tahun 2023, kami mendapat kabar kembali bahwa mata air komplet tiba-tiba kering. Dan pada Minggu kemarin, saya tertegun sejenak di tepi sendang, sembari mengenang memori dari proses lahir dan matinya kembali sebuah mata air bernama Tuk Umbul Komplet
Secara pengetahuan empirik yang kami pelajari di alam, daya dukung kawasan mata air memang sudah tidak memadai. Pohon resan penjaga sudah tidak ada lagi. Berganti dengan pohon Jabon (jati belanda) yang entah mempunyai fungsi konservasi atau tidak. Kawasan daerah tangkapan air hujan di bagian atas vegetasinya juga sudah tidak heterogen lagi. Berganti tanaman Ecaliptus (sejenis cemara) endemik dari Australia. Tanah digarap oleh warga untuk pertanian jagung dan pakan ternak yang ditanam di sela-sela pohon kayu berduri yang saya tidak tahu namanya. Batang pohon penuh duri besar seperti 'gada', senjata perang di kisah pewayangan. Konon katanya pohon berduri ini berasal dari tanah Papua
'Owah gingsir' kalimat Bahasa Jawa yang saya jadikan judul tulisan ini kiranya sangat tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Tuk Umbul Komplet memberikan gambaran nyata, bahwa apapun yang bersifat keduniawian sifatnya tidak akan abadi.
Dulu, selama ratusan tahun Tuk Umbul Komplet dimanfaatkan airnya oleh warga sekitar. Sampai pada jaman yang merubah kebiasaan masyarakat sehingga sumber air ini ditinggalkan. Apa yang kami lakukan dengan menggali kembali adalah proses dari 'owah gingsir'. Hidup, mati, hidup lagi kemudian mati lagi, dan pada suatu waktu nanti semoga akan hidup kembali
'Owah gingsir' nya Tuk Umbul Komplet juga menjadi gambaran tentang laku dari masing-masing personal ataupun gerakan Resan Gunungkidul secara komunitas. Sebuah gambaran tentang perubahan, dinamika serta kohesi antar individu yang menimbulkan gesekan dan percikan ego maupun idealisme. Relativitas pergerakan dengan momentum yang tentu tidak bisa terus stabil.
'Owah gingsir' sejatinya adalah sebuah proses dinamis yang menjadi hukum pasti dari 'human beings'. Bagaimana 'mapakke kamanungsan', menempatkan kemanusiaan pada sifat kemanusiaannya
*Tuk Umbul Komplet, Minggu 25 Februari 2024*