(Kegiatan Komunitas Resan Gunungkidul tanggal 5 Juni 2022. Tulisan ini pernah dimuat di website rebowagen.com)
*Menggali sumber air yang lama tertutup telah menjadi agenda rutin kerja-kerja relawan Resan Gunungkidul. Namun, saat penggalian di Alas Tlawah, ketika tanah yang menutupi sumber air berhasil tersingkap, tiba-tiba semua terdiam. Canda dan guyonan yang biasa kami jadikan celotehan sebagai penghibur lelah saat bekerja langsung hilang ditelan sepi. Apa yang terlihat membuat semua menjadi tertegun dan tenggelam dalam warna pikiran masing-masing*
Resan.id -- Sebelum manusia datang dan menempati suatu wilayah, dapat dipastikan bahwa kondisi tempat tersebut awalnya adalah 'alas' (hutan). Dari cerita sejarah asal-usul suatu tempat, dusun, atau desa, maka akan tersebutlah nama 'alas' dan seseorang yang berkaitan dengan tokoh yang pertama kali 'babad alas'. Dua hal ini menjadi komponen cerita tutur tentang 'cikal bakal' suatu daerah. Sejarah suatu peradaban memang tak bisa lepas dari perjuangan dan 'laku prihatin' para leluhur untuk menyiapkan masa depan bagi anak turun mereka. Kisah-kisah ini ada yang berupa sejarah karena didukung bukti-bukti otentik. Ada pula yang telah menjadi cerita rakyat, hikayat, ataupun mitos.
Area persawahan di bawah Alas Tlawah
Kita tentu mengenal Kerajaan Mataram yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta Hadiningrat. Sejarah kerajaan besar ini berawal dari sebuah tanah 'perdikan' bernama Alas Mentaok. Oleh Sultan Kerajaan Pajang waktu itu, yakni Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pada tahun 1556 Alas Mentaok diberikan kepada Ki Pemanahan. Pemberian ini sebagai bentuk hadiah atas keberhasilan Ki Pemanahan dan putranya Danang Sutawijaya memadamkan pemberontakan Arya Penangsang.
Bersama Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pemanahan kemudian membuka Alas Mentaok yang dikenal angker dan penuh dengan pohon Mentaok. Setelah menjadi pemukiman, tanah 'perdikan' Alas Mentaok kemudian dinamakan Bumi Mataram. Dan sejarah mencatat, berawal dari hutan ini, akhirnya berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan besar dan menggantikan kejayaan Kerajaan Pajang. Danang Sutawijaya menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senapati. Sampai era millenial, kerajaan yang sekarang bernama Yogyakarta Hadiningrat ini masih tetap eksis.
'Babad alas' atau membuka hutan untuk pemukiman juga menjadi bagian dari cerita sejarah asal-usul kota Wanasari (Wonosari). Hal ini terkait hikayat 'Babad Alas Nangka Doyong'. Alas yang berada di tengah wilayah Gunungkidul ini dikenal sangat 'wingit', dengan penguasa ghaib bernama Nyi Gadhung Mlati. Tekad keras dan perjuangan Ki Demang Wanapawira akhirnya berhasil membuka alas untuk sebuah pemukiman. Tempat ini kemudian diberi nama Wanasari, 'wana' (hutan), 'sari' (asri). Seiring perkembangan zaman, Alas Nangka Doyong yang dulu berupa hutan belantara saat ini menjadi pusat kota Kabupaten Gunungkidul.
*Alas Tlawah*
Hari menjelang siang. Keteduhan Alas Tlawah melindungi kami dari terik matahari. Suara burung-burung hutan terdengar mengiringi ayunan cangkul teman-teman Resan Gunungkidul. Kami sedang mencoba menggali sebuah mata air yang telah tertutup di Alas Tlawah. Penggalian atau normalisasi/revitalisasi sumber air ini memang merupakan agenda kegiatan rutin dari Resan Gunungkidul. Hal ini berdasar kenyataan bahwa ada ratusan sumber mata air yang tak terawat lagi. Karena lama tidak digunakan, sumber air ini tertutup tanah. Tidak pernah disambangi, dan akhirnya terbengkelai. Puluhan diantaranya bahkan hanya tinggal menyisakan cerita. Padahal dulu, menurut cerita 'simbah', sumber-sumber air ini merupakan sumber utama untuk kebutuhan air bagi warga sekitar.
Alas Tlawah terletak di Padukuhan Natah Kulon, Kalurahan Natah, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul. Dari cerita-cerita sepotong yang saya terima, hutan seluas kurang lebih 5 hektar ini merupakan alas tua yang angker. Status tanahnya adalah Sultan Ground (SG) dan dikelola oleh masyarakat sekitar. 'Tlawah' berasal dari kata bahasa Jawa yang kurang lebih berarti 'cleweran' (batu yang terbelah) untuk tempat menyimpan atau aliran air. Memang di tengah Alas Tlawah ada sebuah kali kecil yang seakan membelah Alas Tlawah menjadi dua bagian.
Pada bagian agak ke bawah terdapat lahan sawah terasering milik warga. Ada sebuah sumber air bernama sumber air Gayam yang dialirkan ke rumah-rumah warga Padukuhan Natah Kulon untuk kebutuhan sehari-hari.
Sumber air Gayam
"Nek mboten kleru, riyin sumber Tlawah niku mriki niki (kalau tidak keliru, dulu sumber Tlawah itu disini)," kata Mbah Ngadimo agak ragu sambil jarinya menunjuk sebuah tempat yang memang ada genangan air.
Mbah Ngadimo adalah warga Padukuhan Ngangkruk, Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar. Sejak tahun 1995 ia secara sukarela bersama beberapa warga menanami kawasan Alas Tlawah yang tandus. Hasil kerja Mbah Ngadimo ini sekarang dapat dilihat buktinya dengan adanya puluhan pohon beringin besar di Alas Tlawah. Berkat usaha ini juga, sumber air Gayam yang dulu sempat mati sekarang bisa hidup kembali.
Mbah Ngadimo dan pohon yang ia tanam tahun 1995
"Riyin, sumber Tlawah niku sering kagem ngunjuk tiyang ngarit utawi angon. Sumbere mboten ageng, namung ajeg, mboten asat (dulu, sumber Tlawah itu sering untuk minum orang mencari rumput atau menggembala. Sumbernya tidak besar, tapi airnya tetap dan tidak kering)," lanjutnya.
Setelah sempat ragu diantara dua titik, Mbah Ngadimo akhirnya meyakinkan kami bahwa lokasi terakhir yang ia tunjuk adalah titik sumber air yang dicari.
*Sumber air berbentuk kelopak mata*
Agenda yang rencananya hanya menanam pohon di Alas Tlawah akhirnya menjadi penggalian sumber air. Teman-teman kemudian menyiapkan alat. Setelah beberapa waktu bergelut dengan tanah, cangkul kami mulai menyentuh permukaan batu. Rembesan air tampak keluar dari beberapa sudut. Perlahan-lahan bentuk sumber air yang menurut Mbah Ngadimo sebagai pusat Alas Tlawah mulai tampak.
Tanah mulai tersingkap. Kami menemukan bahwa bentuk sumber air ini memang berbentuk 'tlawah' atau lubang batu. Semakin tersingkap, bentuk 'tlawah' semakin tampak. Dan bentuk inilah yang membuat kami serentak terdiam. 'Tlawah' batu ini jika dilihat dari samping, sangat mirip organ mata manusia beserta kelopaknya. Kami saling memandang satu dengan yang lain. Tak ada yang berkata-kata, rasa takjub, heran, bercampur sedikit takut menyelimuti kami.
Sumber air Alas Tlawahh
"Lha nggih niku sumbere (lha ya itu sumber airnya)," kata Mbah Ngadimo memecah keheningan.
Salah seorang teman Resan kemudian dengan perlahan membersihkan 'bola mata' yang belum sepenuhnya bersih dari tanah. Dari salah satu sudut 'kelopak' itu ada sebuah lubang kecil yang mengucurkan air, persis seperti kelenjar air mata. Beberapa saat air tampak mengalir tapi kemudian tiba-tiba berhenti. 'Tlawah' batu berbentuk kelopak mata sudah benar-benar selesai dibersihkan. Beberapa teman kemudian membuat dokumentasi duduk mengelilinginya sambil merokok.
Setelah beberapa saat, keadaan mulai cair. Salah seorang teman kemudian mengusulkan untuk menghentikan dulu aktivitas penggalian. Kami mengobrol dan menyimpulkan bahwa apa yang kami temukan memang bukan sebuah sumber air biasa.
"Kita teruskan penanaman pohon saja dulu. Penggalian sumber air kapan-kapan bisa kita lanjutkan," usul seorang teman yang diamini oleh yang lain.
Dari temuan tadi, saya kemudian bisa menyimpulkan, keraguan dari Mbah Ngadimo di awal, akhirnya sedikit banyak mendapat jawaban. Minimnya cerita tentang Alas Tlawah memang ada kesan tentang sesuatu yang disembunyikan atau tidak semua bisa diceritakan. Alas Tlawah bagi masyarakat Natah sendiri adalah sebuah hutan yang selain dikenal angker juga menyimpan banyak misteri. Jarang penduduk yang berani memasuki kawasan hutan, jika bukan yang sudah terbiasa.
Paryanto, Jagabaya Kalurahan Natah menceritakan bahwa Alas Tlawah menyimpan suatu misteri ataupun cerita dari suatu kisah yang terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Ia mengalami sendiri sebuah pengalaman tak masuk akal di lokasi Alas Tlawah. Kejadian itu dialami saat ada program sertifikasi tanah SG, ia dan tim mengaku sempat dibuat bingung.
"Saat pengukuran luas Alas Tlawah, alat kami yang telah biasa digunakan untuk menentukan titik GPS semuanya tak bisa memancarkan sinyal. Seharian kami coba tidak berhasil, tiga-tiganya mati. Alat itu kembali hidup saat keluar dari lokasi Alas Tlawah," cerita Paryanto.
Ia menambahkan bahwa saat pemetaan potensi sumber air di Kalurahan Natah, seorang ahli dari Keraton Yogyakarta mengatakan bahwa di pusat Alas Tlawah ada sebuah mata air berbentuk kelopak mata. Namun karena memang hal itu sejak dulu hanya dianggap sebagai mitos, pihak kalurahan mengatakan bahwa sumber air itu tidak ada.
"Saya sendiri tidak pernah berpikir bahwa sumber air itu akhirnya ditemukan oleh teman-teman Resan Gunungkidul," ujar Paryanto.
Ia menambahkan bahwa temuan ini semoga menjadi suatu hal yang baik. Dalam arti upaya untuk melestarikan Alas Tlawah menjadi suatu hal yang penting dan harus diagendakan.
"Upaya teman-teman Resan Gunungkidul saya yakin niatnya baik, yakni untuk ikut melestarikan alam. Kami pihak kalurahan akan bersinergi untuk program ini, paling tidak dengan penanaman pohon dan pelestarian sumber air akan bisa dimanfaatkan untuk seluruh warga masyarakat," imbuh Paryanto.
Pasca agenda, kami kembali mengobrolkan Alas Tlawah. Ada beberapa hal yang memang kami rasa belum selesai pada agenda di Alas Tlawah. Salah satunya yakni tentang cerita bahwa dulunya di sumber air ini ada sebuah pohon Nangka. Saat ini pohon itu sudah roboh dan melapuk dimakan usia. Pada agenda selanjutnya, kami berencana kembali untuk ikut 'nguri-uri' kelestarian sejarah dari Alas Tlawah.