Pariwisata, Lingkungan, dan Sultan-Sultan
Penulis: Puja A.D
Resan.id. -- Senin, 18 Desember 2023, siang itu aku dalam perjalanan kembali ke kosku di Sleman, setelah 3 hari 2 malam mengikuti kegiatan kampus di wilayah perbukitan Giricahyo, Kapanewon Purwosari, Kabupaten Gunungkidul.
Daerah tersebut dan sekitarnya merupakan salah satu daerah potensi wisata di Gunungkidul. Perjalanannya sekitar 3 kilometer menanjak dari area Parangtritis di Kabupaten Bantul. Pada jalur itu, setidaknya sudah terdapat tiga resort yang aku lewati untuk menuju ke tempat kegiatan. Juga tak lupa sebuah objek wisata yang sedang hits bagi para wisatawan, Obelix Sea View. Ya, Gunungkidul memang sedang dalam proses penggemukan pariwisata.
Sayangnya, pada perjalanan pulang tersebut aku melihat sebuah mobil pick up mengangkut sampah lalu tanpa tedeng aling-aling membuangnya ke jurang di sisi jalan. Bagaimana tidak miris, saat itu di Yogyakarta baru saja mengalami darurat sampah karena ditutupnya TPA Piyungan. Sebelum melihat pemandangan ‘zina’ tersebut, sebagai warga Gunungkidul permasalahan sampah tidak begitu terpikirkan olehku. Mengingat di dusunku sendiri di wilayah Kapanewon Semin, sampah organik biasanya dijadikan pakan ternak kemudian sampah kertas atau plastik dijadikan sebagai bahan 'cetik geni'. (membuat api dapur).
Lalu sekiranya dari mana sampah-sampah tersebut berasal? Kok rasanya susah membayangkan sampah tersebut berasal dari warga yang buruh tani, nelayan, atau yang hanya memiliki warung-warung kecil di sekitar tempat wisata.
Esoknya, beberapa teman memberitahuku melalui DM instagram tentang berita artis nasional Raffi Ahmad dan beach club impiannya yang akan di bangun di Gunungkidul. Tak lama, media-media semakin santer membicarakannya, teman-temanku seper-Gunungkidul-an juga sudah 'rasan-rasan' terkait hal ini.
Aku sendiri pernah mencoba mengirim DM di akun instagram Sultan Andara itu. Konyol memang, he..hee...,mengingat pengikut akun Instagramku yang tidak mencapai seribu apalagi centang biru. Isi DM tersebut kurang lebih membicarakan bagaimana keadaan persampahan, air (yang hampir setiap tahun menjadi kekhawatiran masyarakat sekitar), dan ekosistem karst yang telah banyak dibahas oleh para pegiat lingkungan.
Namun, dari semua berita Sultan Andara tersebut, hingga saat ini belum terlihat adanya tanggapan dari Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono. Memang gelar Sultan Andara yang disandang Rafi Ahmad tidak ada kaitannya dengan gelar kesultanan keraton. Namun pikirku, meski rencana pengurangan wilayah KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) dibuat oleh Pemkab Gunungkidul, Gubernur bisa dong 'cawe-cawe' mengingat permasalahan lingkungan dampak dari sektor pariwisata Yogyakarta bukan hanya di Gunungkidul.
Sebagai contoh, jangan sampai fenomena ‘Jogja Asat’ pada tahun 2014 itu terulang kembali. Saat itu, beberapa wilayah Yogyakarta seperti Gowongan, Miliran, dan Godean mengalami pengurangan debit air setelah satu dua tahun hotel-hotel beroperasi. Sumur yang telah berpuluh-puluh tahun menghidupi warga sekitar menjadi kering dan menghambat kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebetulnya sejak November 2022, warga sendiri yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia telah mengajukan penolakan rencana pengurangan luas KBAK kepada Sri Sultan. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat belum ada berita tentang tanggapan Sri Sultan atau pihak berwenang lainnya.
Atau mungkin aku yang kurang lihai mencari berita tersebut di tengah gempuran berita ketiga paslon yang sowan ke Kesultanan. Tapi masa iya berita tentang ekosistem karst warisan dunia yang sudah ditetapkan UNESCO tertimbun berita kampanye? Dunia memang sedang tidak baik-baik saja.
Puja AD adalah mahasiswa yang sedang menyelesaikan S2 nya di Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM.Tesisnya ia beri judul 'Handarbeni Handayani', yang banyak membahas soal aktivisme lingkungan berbasis komunitas lokal di Gunungkidul.
Daerah tersebut dan sekitarnya merupakan salah satu daerah potensi wisata di Gunungkidul. Perjalanannya sekitar 3 kilometer menanjak dari area Parangtritis di Kabupaten Bantul. Pada jalur itu, setidaknya sudah terdapat tiga resort yang aku lewati untuk menuju ke tempat kegiatan. Juga tak lupa sebuah objek wisata yang sedang hits bagi para wisatawan, Obelix Sea View. Ya, Gunungkidul memang sedang dalam proses penggemukan pariwisata.
Sayangnya, pada perjalanan pulang tersebut aku melihat sebuah mobil pick up mengangkut sampah lalu tanpa tedeng aling-aling membuangnya ke jurang di sisi jalan. Bagaimana tidak miris, saat itu di Yogyakarta baru saja mengalami darurat sampah karena ditutupnya TPA Piyungan. Sebelum melihat pemandangan ‘zina’ tersebut, sebagai warga Gunungkidul permasalahan sampah tidak begitu terpikirkan olehku. Mengingat di dusunku sendiri di wilayah Kapanewon Semin, sampah organik biasanya dijadikan pakan ternak kemudian sampah kertas atau plastik dijadikan sebagai bahan 'cetik geni'. (membuat api dapur).
Lalu sekiranya dari mana sampah-sampah tersebut berasal? Kok rasanya susah membayangkan sampah tersebut berasal dari warga yang buruh tani, nelayan, atau yang hanya memiliki warung-warung kecil di sekitar tempat wisata.
Esoknya, beberapa teman memberitahuku melalui DM instagram tentang berita artis nasional Raffi Ahmad dan beach club impiannya yang akan di bangun di Gunungkidul. Tak lama, media-media semakin santer membicarakannya, teman-temanku seper-Gunungkidul-an juga sudah 'rasan-rasan' terkait hal ini.
Aku sendiri pernah mencoba mengirim DM di akun instagram Sultan Andara itu. Konyol memang, he..hee...,mengingat pengikut akun Instagramku yang tidak mencapai seribu apalagi centang biru. Isi DM tersebut kurang lebih membicarakan bagaimana keadaan persampahan, air (yang hampir setiap tahun menjadi kekhawatiran masyarakat sekitar), dan ekosistem karst yang telah banyak dibahas oleh para pegiat lingkungan.
Namun, dari semua berita Sultan Andara tersebut, hingga saat ini belum terlihat adanya tanggapan dari Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono. Memang gelar Sultan Andara yang disandang Rafi Ahmad tidak ada kaitannya dengan gelar kesultanan keraton. Namun pikirku, meski rencana pengurangan wilayah KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) dibuat oleh Pemkab Gunungkidul, Gubernur bisa dong 'cawe-cawe' mengingat permasalahan lingkungan dampak dari sektor pariwisata Yogyakarta bukan hanya di Gunungkidul.
Sebagai contoh, jangan sampai fenomena ‘Jogja Asat’ pada tahun 2014 itu terulang kembali. Saat itu, beberapa wilayah Yogyakarta seperti Gowongan, Miliran, dan Godean mengalami pengurangan debit air setelah satu dua tahun hotel-hotel beroperasi. Sumur yang telah berpuluh-puluh tahun menghidupi warga sekitar menjadi kering dan menghambat kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebetulnya sejak November 2022, warga sendiri yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia telah mengajukan penolakan rencana pengurangan luas KBAK kepada Sri Sultan. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat belum ada berita tentang tanggapan Sri Sultan atau pihak berwenang lainnya.
Atau mungkin aku yang kurang lihai mencari berita tersebut di tengah gempuran berita ketiga paslon yang sowan ke Kesultanan. Tapi masa iya berita tentang ekosistem karst warisan dunia yang sudah ditetapkan UNESCO tertimbun berita kampanye? Dunia memang sedang tidak baik-baik saja.
Puja AD adalah mahasiswa yang sedang menyelesaikan S2 nya di Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM.Tesisnya ia beri judul 'Handarbeni Handayani', yang banyak membahas soal aktivisme lingkungan berbasis komunitas lokal di Gunungkidul.