"Ngrumat-Ngruwat" Bumi Handayani, Melawan Krisis Alam dengan Ritual Adat Serabi Kocor
Adoh ratu cedek watu, begitu kira-kira perumpamaan
yang cocok untuk menggambarkan Gunungkidul. Perbukitan karst yang mendominasi
membuat wilayah ini terkenal tandus serta bencana kekeringan menjadi agenda
tahunan. Kesulitan mendapat akses air memang masih menjadi masalah utama di
Gunungkidul. Padahal hampir semua masyarakat bermatapencaharian sebagai petani.
Tentu kita tahu bahwa sektor agraris membutuhkan banyak air selama proses
produksinya.
Bumi saat ini sedang
tidak baik-baik saja lantaran perubahan iklim global, ditambah adanya fenomena
El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang di Indonesia. Lalu, bagaimana
dengan Gunungkidul? Bagaimana nasib para petani yang berjuang mengolah lahan
demi ketahanan pangan?
Melansir dari
lainsisi.com, kemarau berkepanjangan menimbulkan keresahan di kalangan petani karena
hal itu berpotensi mengancam kegagalan panen. Mbah Darmo, seorang petani dari
Padukuhan Singkil, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan, mengatakan bahwa
kondisi sekarang serupa dengan apa yang terjadi pada tahun 1963 sebelum
memasuki ‘jaman gaber’ (krisis
pangan), salah satu penyebabnya adalah kekeringan.
Tentu, tak ada
yang mau hal itu kembali terjadi bukan?
Berbagai upaya konservasi
lingkungan untuk mengembalikan keseimbangan alam telah dilakukan. Sebuah usaha
yang diniatkan untuk mengurangi dampak perubahan iklim global. Tak hanya usaha
berupa aksi oleh para aktivis lingkungan, masyarakat memiliki cara tersendiri
untuk melawan krisis alam ini. Ya, masyarakat meyakini adanya kekuatan
spiritual yang dapat menolong mereka.
Gunungkidul memiliki
tradisi Upacara Adat Serabi Kocor yang
diwariskan leluhur. Melalui tradisi ini, masyarakat berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Esa untuk meminta hujan. Inilah harapan terakhir masyarakat. Ketika alam enggan
menumpahkan tirta kehidupan, mereka menyeru atas sebuah kerinduan.
Upacara Adat Serabi Kocor di Padukuhan Munggi &
Wareng
Alkisah, salah
satu putra Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang dikenal dengan nama
Djong Katong. Pada waktu Kerajaan Majapahit runtuh, ia bersama saudaranya
mengembara hingga menapakkan kaki di Bumi Handayani. Perjalanan membawa mereka
sampai di wilayah Katongan Nglipar. Di sana mereka meninggalkan jejak petilasan
berupa Belik Katongan.
Ketika melanjutkan
perjalanan, Eyang Djong Katong memutuskan singgah di Munggi, Semanu. Sedangkan
saudaranya menuju arah timur di wilayah Karangmojo yang akhirnya menjadi kisah
cikal bakal Kabupaten Gunungkidul. Eyang Djong Katong banyak menanam pohon
kemranggi atau kemrunggi (Caesalpinia
crista L.). Tak heran, wilayah ini kemudian diberi nama Munggi untuk
mengingatkan akan keberadaan pohon tersebut.
Eyang Djong
Katong, menjadi leluhur yang dihormati masyarakat hingga kini. Jejak
petilasannya pun menjadi titik spiritual bagi warga setempat. Hal ini tak lain
sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang erat kaitannya dengan cikal
bakal Padukuhan Mrunggi.
Pada hari
Kamis-Jumat tanggal 22-23 Februari 2024, masyarakat Padukuhan Munggi dan Wareng
di Kapanewon Semanu melaksanakan rangkaian prosesi upacara adat “Serabi Kocor”.
Rangkaian ini diawali dengan mujahadah bersama di Masjid Ar-Rohman Munggi pada
pukul 19.30 WIB. Kemudian, Pukul 21.00 WIB dilanjut dengan tirakatan.
Selanjutnya, topo laku mendet toya suci (perjalanan
mengambil air suci) di Resan Petilasan Djong Katong di Kapanewon Nglipar oleh
dua orang utusan, yaitu Rismiyadi dan Jarwanto dengan berjalan kaki
pulang-pergi kurang lebih sejauh 50 km tanpa berhenti ataupun mampir-mampir.
Ikhtiar untuk
meminta hujan dilakukan dengan laku prihatin, sama halnya dengan keprihatinan
warga atas hujan yang tak kunjung datang. Dua orang tadi, Rismiyadi dan
Jarwanto, berangkat pada malam Jumat lepas tengah malam. Warga meyakini bahwa
syarat menggelar Nyadran Serabi Kocor Djong Katong adalah mengambil air suci dari
Belik Katongan.
Hari Jumat sekitar
pukul setengah 5 sore, dua orang utusan tiba di Petilasan Djong Katong dengan
membawa air suci. Kemudian, air tersebut diserahkan kepada ketua adat melalui
proses ‘tinampi’ atau serah terima.
Setelah semua
prosesi ritual selesai, para warga berebut dawet dan serabi kocor untuk
mendapat berkah dari doa yang telah dipanjatkan. Tampak ekspresi warga suka
cita dengan penuh harap akan terkabulnya doa-doa tadi. “Berbahagialah tanaman di ladang, hujan akan segera turun”, begitu
kiranya batin mereka.
Doa dan ikhtiar warga tidak sia-sia. Semesta merestui dengan memberikan berkah hujan deras tepat satu hari setelah prosesi ritual adat ini dilaksanakan. Kebetulan atau tidak, inilah berkah Gusti. Ketika manusia ingat kepada Sang Pencipta, tak segan dengan kuasa-Nya akan memberi jalan keluar dari sebuah masalah.
Dokumentasi foto oleh: M. Fadlan H. Daud (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga)