Bencana Alam atau Bencana Manusia...(?)
Oleh: Edi Padmo
-
resan.id-- Keadaan iklim yang tidak menentu sering memicu terjadinya anomali cuaca dan cuaca ekstrim. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan, gelombang panas dan lain-lain. Yang menjadi ancaman global saat ini adalah bencana pangan yang bisa menyebabkan bencana kelaparan. Badan khusus PBB yang mengurusi soal pangan dunia telah mengeluarkan warning tentang hal ini. Krisis pangan dipicu oleh berbagai bencana alam yang terjadi. Banjir yang merendam lahan pertanian, ataupun kekeringan yang mengakibatkan petani gagal panen (puso).
Pemanasan global (global warming) dan 'efek rumah kaca' (green house effect) dituding banyak ahli sebagai penyebab perubahan iklim secara makro (climate change). Perubahan iklim inilah yang mengakibatkan cuaca ekstrem, salah satunya memicu kenaikan suhu udara di berbagai belahan dunia. Dilaporkan bahwa sampai tahun 2023, setidaknya ada 22 negara (termasuk Indonesia) di 7 benua yang mengalami kenaikan suhu maksimum sampai 50 derajat Celcius.
Tiga faktor, yakni Global warming, Greenhouse effect dan Climate change akhir-akhir ini banyak disebut menjadi penyebab berbagai bencana di muka bumi. Ketiga hal ini mempunyai pengertian yang berbeda, namun ketiganya memang mempunyai keterkaitan hubungan sebab akibat secara langsung. Secara sederhana dapat kita pahami sebagai berikut.
"Efek rumah kaca' adalah keadaan dimana radiasi sinar matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Polusi udara akibat aktivitas industri yang masif membuat atmosfer tercemar. Pada atmosfer bagian atas terbentuk sebuah selubung yang menghalangi bumi memantulkan kembali radiasi itu ke luar angkasa. Akibat sinar radiasi yang terperangkap, membuat suhu bumi menjadi semakin panas. Maka selanjutnya terjadilah pemanasan global. Imbasnya yaitu akan terjadi perubahan iklim dan memicu terjadinya cuaca ekstrem".
Pencemaran udara dan atmosfer bumi memang menjadi tersangka terjadinya fenomena 'efek rumah kaca'. Namun sebetulnya, jika dirunut lebih jauh, ketiga hal tadi dan segala rentetannya, terjadi karena dampak aktivitas manusia. Eksplorasi alam berlebihan tanpa diimbangi dengan kesadaran menjaga lingkungan, saat ini terus dan masif terjadi di berbagai negara.
Dampak negatif sektor industri juga mengakibatkan berbagai pencemaran atau limbah. Deforestasi (penggundulan hutan) dan kebakaran lahan semakin memperparah kerusakan lingkungan dalam skala besar.
Bahan bakar fosil yang setiap hari dibakar sebagai penghasil energi, baik untuk industri maupun dari emisi kendaraan bermotor menyebabkan kandungan gas Karbondioksida (Co2) meningkat tajam di atmosfer bumi.
Sisa pembakaran berupa gas ini dibuang langsung ke udara melalui cerobong-cerobong pabrik dan kenalpot kendaraan.
Melansir katadata.co.id dalam artikel Pengertian Efek Rumah Kaca dan Penyebabnya, Beberapa zat yang dihasilkan akibat efek samping aktivitas manusia disebut menjadi pemicu 'efek rumah kaca'. Selain Karbondioksida (Co2), ada bebeberapa zat lain, yakni Metana (CH4), Klorofluorokarbon (CFC), Belerang dioksida, Nitrogen oksida, H2o serta menipisnya lapisan Ozon pelindung bumi.
Karbondioksida (Co2) atau sering disebut sebagai zat asam arang adalah jenis yang paling banyak diproduksi akibat efek samping dunia industri. Zat ini adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom oksigen. Kedua atom terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. Ia berbentuk gas dalam keadaan temperatur dan tekanan yang standar dan hadir di atmosfer bumi.
Saat kandungan Co2 di atmosfer bumi berlebihan, maka akan menghalangi pemancaran panas dari bumi. Sehingga panas dipantulkan kembali ke bumi (efek rumah kaca). Hal ini berakibat suhu bumi menjadikan naik, sehingga terjadi pemanasan global yang memicu cuaca ekstrem.
Dalam jumlah normal, keberadaan Co2 memang dibutuhkan dalam sistem siklus alami. Namun ketika jumlahnya berlebih maka akan menjadi masalah dalam keseimbangan alam.
Mengacu pada kata 'bencana alam' secara sekilas tersirat bahwa alam menjadi subyek pelaku dari bencana. Namun sejatinya, kita manusia yang menyebabkan semuanya. Bencana terjadi karena ketidak-seimbangan alam. Alam tidak seimbang lagi karena dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memikirkan kelestariannya. Benar kata orang bijak, bahwa 'alam dengan segala isinya cukup untuk menghidupi seluruh manusia, namun tidak cukup untuk memenuhi nafsu segelintir manusia'.